Selasa, 02 Agustus 2011

Propolis, Air Liur Lebah yang Mampu Mengobati Hampir Segala Jenis Penyakit

Tahukah anda kalau sebenarnya lebah menghasilkan 4 macam produk. Orang-orang awam hanya tahu madu sebagai produk lebah. Namun selain madu lebah juga menghasilkan royal jelly, bee polen, dan propolis.

Untuk menjaga kesehatan biasanya orang minum madu, namun untuk mengobati penyakit, propolis lebih manjur, kalau menggunkan madu dibutuhkan waktu yang lama dan kurang mujarab dibanding propolis.



Propolis dikumpulkan oleh lebah dari tumbuh-tumbuhan atau pucuk muda dan kulit pohon terutama pohon poplar lalu dicampurkan dengan air liurnya, yang digunakan untuk menambal lubang dalam sarang lebah yang sekaligus juga melindungi sarang lebah dari serangan virus, bakteri dan jamur.
Propolis yang berbahan dasar air liur lebah ini, ternyata merupakan obat alami yang bisa dipakai untuk menaklukkan hampir semua jenis penyakit.

Propolis berasal dari bahasa Yunani (pro = sebelum, polis = kota = sistem pertahanan kota). Ia sanggup menyembuhkan diabetes dan gangren, yang merupakan penyakit tidak bisa disembuhkan secara medis, bahkan tanpa suntik insulin dan amputasi.

Penderita kanker stadium lanjut yang telah divonis tidak memliki harapan, juga bisa sembuh dengan propolis. Segala jenis penyakit maut lainnya seperti stroke, sakit jantung, batu ginjal, gagal ginjal, hepatitis, dan bahkan AIDS juga sanggup ia taklukkan.

Tidaklah heran mengapa propolis bisa memberikan keajaiban sedemikian rupa adalah karena kandungan antioksidan 1 tetes propolis = antioksidan 500 buah jeruk. Disamping itu, propolis kaya akan asam amino, vitamin-vitamin, bioflavonoids.

Propolis sebagai pengobatan alami, mengandung zat aktif yang berfungsi sebagai obat untuk berbagai macam penyakit.



Fungsi pengobatan meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Propolis sebagai antibiotik alami, antiviral dan sekaligus antifungal alami tanpa efek samping.

2. Propolis menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan bakteri, misalnya: thypus, diare/muntaber dan sebagainya. Dapat juga untuk bau ketiak yang sangat mengganggu, karena di dalam lipatan ketiak terdapat bakteri atau jamur yang menyebabkan bau.

3. Propolis menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan virus, misalnya demam berdarah, flu, TBC dan sebagainya.

4. Propolis menyembuhkan penyakit yang berhubungan dengan jamur, misalnya eksim, panu, keputihan, ketombe dan sebagainya.

5. Propolis sebagai Anti peradangan (infeksi dan luka), misalnya maag, luka luar, radang tenggorokan, sakit gigi, radang ginjal, luka bakar dan sebagainya.

6. Propolis sebagai anti kanker dan mutagenesis sel, misalnya kanker, tumor, mioma, kista dan sebagainya.

7. Propolis berfungsi untuk membersihkan pembulu darah dan detoksifikasi.

8. Propolis berfungsi sebagai pembuangan racun, misalnya asam urat, kolesterol, trigliserin, darah tinggi, jantung, stroke, diabetes mellitus, dan sebagainya.

9. Propolis juga penyembuh ajaib bagi penyakit seperti ateriosklerosis atau pengapuran pembuluh darah oleh lemak, berbagai infeksi, gangguan pencernaan, gangguan pernafasan, penyakit syaraf, arthritis dan rematik.

10. Propolis sebagai penetral racun dalam tubuh dan sekaligus anti oksidan kuat.

11. Propolis meningkatkan sistem kekebalan tubuh.



Berikut adalah pendapat para ahli tentang propolis dan kegunaannya:

1. John Diamond, MD
Propolis mampu mengaktifkan kelenjar thymus yang berfungsi sebagai sistem imunitas tubuh.

2. Ray Kupinsel
Propolis sebagai antibiotik alami yang mampu melawan berbagai macam penyakit tanpa efek samping.

3. Profesor Arnold Becket
Propolis mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur.

4. Russia Research Team (Tim Riset Rusia)
Dalam propolis terdapat zat antibiotik alami dan antiviral, vitamin, asam amino, dan mineral yang sangat mujarab untuk penyakit mulut, tenggorokan.

5. Dr. Fang Chu (dokter di Lien Yu Kang Hospita Tiongkok)
Propolis berguna untuk penyakit kandungan lemak tinggi dalam darah dan untuk penyakit jantung.

6. Lembaga Riset Kanker Columbia, 1991
Dalam propolis terdapat zat CAPE yang berfungsi mematikan sel kanker. Dengan pemakaian zat CAPE secara teratur selama 6 bulan dapat mereduksi kanker sebanyak 50%.

7. Majalah antibiotik VP Kivalkina
Propolis sangat efektif untuk infeksi tanpa batas kadaluarsa.

8. Dr. K. Lund Aagaard
“Propolis, Natural Substance, the way to health”. Bioflavanoid yang terkandung di dalam propolis dapat mendegradasi radikal bebas yang disebabkan polusi, bahan pengawet dan bahan kimia lain yang masuk ke dalam tubuh. Kemampuan kerja bioflavanoid ini setara dengan kemampuan 500 buah jeruk.

9. Prof. Hembing Wijaya kusuma
Propolis sangat baik untuk kesehatan kulit dan berkhasiat luar biasa.




ANDA BUTUH PROPOLIS ?????
HUBUNGI: BAPAK TAUFIK
HP: 085277406277 / 085277409084

Soal-soal Excel

1. Microsoft Excel merupakan program aplikasi
a. Spreadsheet
b. Wordprosesor
c. Presentation
d. Animasi

2. Fungsi yang digunakan untuk menghitung penjumlahan data angka
a. Sum
b. Max
c. Min
d. Average

3. Fungsi yang digunakan untuk menghitung nilai terbesar data angka
a. Sum
b. Max
c. Min
d. Average

4. Fungsi yang digunakan untuk menghitung nilai terkecil data angka
a. Sum
b. Max
c. Min
d. Average

5. Fungsi yang digunakan untuk menghitung rata-rata data angka
a. Sum
b. Max
c. Min
d. Average

6. Fungsi yang digunakan untuk menghitung banyak data dalam range tertentu
a. Count
b. Large
c. Small
d. Rank

7. Baris yang digunakan untuk menampilkan informasi mengenai isi sel yang sedang aktif (disorot) di lembar kerja :
a. Formula bar
b. Toolbar
c. Scroll bar
d. Menu bar

8. Untuk mengakhiri Excel dapat menekan tombol :
a. Alt + F4
b. Ctrl + F4
c. Alt + F2
d. Ctrl + F2

9. Untuk mengedit sel, kita dapat menggunakan tombol :
a. F1
b. F2
c. F3
d. F4

10. Yang bukan termasuk fungsi statistik di bawah ini adalah
a. If
b. Large
c. Small
d. Rank

11. Fungsi yang digunakan untuk mengambil bagian kiri dari data teks sebanyak karakter tertentu
a. Left
b. Right
c. Mid
d. Value

12. Fungsi yang digunakan untuk mengambil bagian kanan dari data teks sebanyak karakter tertentu
a. Left
b. Right
c. Mid
d. Value

13. Fungsi yang digunakan untuk mengambil beberapa karakter di tengah-tengah data teks
a. Left
b. Right
c. Mid
d. Value

14. Fungsi yang digunakan untuk mengubah data teks menjadi data numeric
a. Left
b. Right
c. Mid
d. Value

15. Yang bukan termasuk fungsi string di bawah ini adalah :
a. Text
b. Lower
c. Upper
d. If

16. Yang disebut fungsi logika di bawah ini adalah
a. If
b. Sumif
c. Logif
d. Countif

17. Fungsi Vlookup dan Hlookup digunakan untuk membaca suatu :
a. Tabel
b. Data
c. Grafik
d. Rumus

18. Perintah untuk menyimpan lembar kerja excel dengan menekan tombol
a. Ctrl S
b. Ctrl N
c. Ctrl V
d. Ctrl A

19. Untuk mengatur tinggi baris table menggunakan perintah
a. format, wide, height
b. format, row, height
c. format, coloum, autoselection
d. format, row, autoselection

20. Untuk mengatur kolom table menggunakan perintah
a. format, column, width
b. format, row, heigh
c. format, coloum, autoselection
d. format, row, autoselection

21. Berikut ini yang bukan termasuk kelompok program Microsoft office adalah
a. Microsoft excel
b. Microsoft word
c. Microsoft power point
d. Microsoft windows

22. Berikut ini yang tidak dapat digunakan untuk menjalankan excel adalah
a. Shortcut excel di desktop
b. Start menu
c. File excel
d. Dokumen word

23. Untuk menampilkan toolbar dilakukan di menu
a. Insert
b. View
c. Format
d. Data

24. Bagian jendela excel yang berfungsi untuk menampilkan alamat sel yang sedang aktif adalah
a. bar rumus
b. bar nama
c. bar status
d. bar judul

25. Bagian excel yang digunakan untuk mengerakan lembaran kerja dalam arah horizontal adalah
a. scroll bar vertical
b. scroll bar horizontal
c. control lembaran kerja
d. taks pane

26. Tombol yang digunakan untuk menjalankan sebuah perintah disebut
a. menu bar
b. toolbar
c. statusbar
d. formula bar

27. Perbesaran lembaran kerja diatur dengan menggunakan perintah
a. customs view
b. full screen
c. zoom
d. view sheets

28. Formula bar dapat diatur agar ditampilkan atau tidak ditampilkan dengan menggunakan kotak dialog options atau menuview.perintah untuk menampilkan kotak dialog options terdapat dimenu
a. view
b. format
c. insert
d. tools

29. Toolbar yang ditampilkan secara default dijendela excel adalah toolbar
a. formatting dan standard
b. standard dan chart
c. chart dan formatting
d. standard

30. Bagian jendela excel yang diklik untuk menampilkan lembaran kerja yang tidak aktif adalah
a. scroll bar lembaran kerja
b. tab lembaran kerja
c. control jendela lembaran kerja
d. menu bar

31. Perintah open dapat dijalankan dari menu file dan tombol open di toolbar standar.selain itu, perintah open dapat juga dijalankan dengan menekan tombol…dikeyboard.
a. ctrl V
b. ctrl O
c. ctrl U
d. ctrl B

32. Berikut ini tombol yang dapat digunakan untuk menggeser sel yang aktif adalah
a. tombol enter
b. tombol tab
c. tombol arah
d. semua benar

33. Salah satu cara untuk memilih seluruh data di lemburan kerja adalah dengan menekan tombol…di keyboard.
a. ctrl S
b. ctrl P
c. ctrl B
d. ctrl A

34. Perintah yang digunakan untuk menggandakan data adalah
a. cut dan paste
b. copy dan paste
c. copy dan cut
d. select all dan copy

35. Selain dengan cara drag and drop.memindahkan data dapat juga dilakukan dengan cara menjalankan perintah
a. cut dan paste
b. copy dan paste
c. copy dan cut
d. select all dan cut

36. Mengatur lebar kolom dimulai dengan mengklik menu
a. insert
b. format
c. data
d. table

37. Mengatur tanda decimal dan ribuan yang digunakan di lakukan di kotak dialog
a. options
b. format cells
c. Print
d. page setup

38. Menambahkan tanda pemisah ribuan ke data yang di lembaran kerja dilakukan di kotak dialog
a. options
b. format cells
c. data edit
d. page setup

39. Mengatur tanda rupiah untuk data yang berupa uang dilakukan di kotak dialog
a. options
b. format cells
c. print
d. page setup

40. Perintah page setup dijalankan dari menu
a. file
b. insert
c. view
d. format

41. Jika kita mempunyai table yang melebar ke samping,maka sebaiknya kita memilih orientasi kertas
a. landscape
b. portraid
c. tegak
d. terserah apa saja

42. Perintah untuk menambahkan header and footer dijalankan dari menu
a. file
b. insert
c. View
d. Format

43. Perintah yang digunakan untuk membatalkan perintah yang sudah terlanjur diberikan adalah :
a. Undo
b. Redo
c. Copy
d. Paste

44. Perintah yang digunakan untuk menampilkan angka dengan format tampilan menggunakan lambang uang adalah :
a. Currency
b. Percent Style
c. Comma Style
d. Dollar

45. Print preview digunakan untuk
a. melihat tampilan halaman sebelum dicetak
b. mencetak lembaran kerja
c. mencetak bagian lembaran kerja tertentu
d. tidak ada jawaban benar

46. Berikut ini adalah tombol yang terdapat pada jendela excel pada kondisi tampilan print preview, kecuali
a. print
b. back
c. zoom
d. close

47. Perintah print dapat juga dijalankan dari tombol keyboard dengan cara menekan tombol
a. ctrl V
b. ctrl C
c. ctrl Shift P
d. ctrl P

48. Untuk mencetak rumus yang terdapat di lembaran kerja,kita perlu megatur agar lembaran kerja berada pada kondisi formula auditing mode.formula auditing mode dijalankan dari menu
a. view
b. insert
c. tools
d. format

49. Menghitung rata-rata data angka menggunakan fungsi :
a. Average
b. Min
c. Max
d. Sum

50. Menambahkan fungsi di lembaran kerja dapat dilakukan dengan menjalankan perintah function. Perintah function terdapat di menu
a. insert
b. format
c. tools
d. data

Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik

Abstrak: Proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru di kelas menjadi persoalan yang sangat menarik untuk didiskusikan. Hal ini disebabkan karena pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis siswa dan sikap positif terhadap matematika sangat jarang dilakukan. Yang ada hanya proses penghafalan konsep-konsep matematika yang sifatnya mekanistik. Akibatnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa sangat tidak memuaskan. Tulisan ini menguraikan tentang pendekatan matematika realistik yang baik secara teoritis maupun dari beberapa hasil penelitian yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Kata kunci: berpikir logis, sikap positif, dan matematika realistik.




1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah

Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan efektif (Puskur, 2002). Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika.
Hal senada juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: (1) tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sampai saat ini masih banyak keluhan, baik dari orang tua siswa maupun pakar pendidikan matematika, tentang rendahnya kemampuan siswa dalam aplikasi matematika, khususnya penerapan di dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, masalah yang berkaitan dengan perbandingan senilai, misalnya seorang petani membeli 12 kg pupuk urea seharga Rp 4500. Berapa rupiah uang yang diperlukan jika ia membeli sebanyak 72 kg? Banyak siswa kelas II SMP yang mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut (Saragih, 2000).

Hasil penelitian Suryanto dan Somerset terhadap 16 SLTP pada beberapa propinsi di Indonesia juga menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah, utamanya pada soal cerita matematika (aplikasi matematika) Zulkardi (2001).
Sebenarnya tidak hanya siswa pendidikan dasar di Indonesia yang memiliki kemampuan yang rendah dalam penerapan matematika. Swoboda (2004) mengatakan bahwa siswa pendidikan dasar di Negara Polandia juga mengalami kesulitan dalam penerapan matematika antara lain konsep perbandingan. Selanjutnya dikatakan bahwa pada konferensi-konferensi internasional aspek-aspek baru pemahaman konsep perbandingan masih dirujuk (Swaboda, 2004).

Cooper dan Harries (2002) melaporkan hasil penelitian terhadap 121 anak-anak usia 11-12 tahun pada akhir tahun pertama mereka di sekolah menengah yang berasal dari dua sekolah menengah di Inggris Utara. Hasilnya menunjukkan ketidakmampuan mereka menggunakan pertimbangan-pertimbangan realistis ketika memecahkan masalah-masalah realistik.

Sementara itu, tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika ke depan. Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Hasil empiris di atas jelas merupakan suatu permasalahan yang merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan pembelajaran matematika sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.

Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu dicari suatu pendekatan yang dapat mendukung proses pembelajaran matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan sehingga dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam belajar matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang saat ini sedang dalam uji coba adalah pendekatan matematika realistik.

Pendekatan matematika realistik ini sesuai dengan perubahan paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diungkapkan dan akan dicari solusi pemecahannya adalah: bagaimana menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif terhadap matematika?

1.3 Tujuan Penulisan
Atas dasar permasalahan di atas, secara teoritis tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengungkap sejauh mana pendekatan matematika realistik dapat menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa dalam matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam matematika.

2. Kajian Literatur dan Bahasan
2.1 Proses Menghafal dan Berpikir Logis


Rendahnya hasil belajar matematika disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ditinjau dari tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target. Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika (Marpaung, 2001). Faktor lain yang cukup penting adalah bahwa aktivitas pembelajaran di kelas yang selama ini dilakukan oleh guru tidak lain merupakan penyampaian informasi (metode kuliah) dengan lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin, sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan memberi soal latihan yang sifatnya rutin dan kurang melatih daya nalar, kemudian guru memberikan penilaian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Marpaung (2001), Zulkardi (2001), dan Darhim (2004).

Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur, pemahaman konsep matematika rendah, dan tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks. Siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku dan jadilah pembelajaran mekanistik. Akibatnya, pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi.

Tidak heran apabila belajar dengan cara menghafal tersebut tingkat kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat yang rendah. Kecenderungan anak terperangkap dalam pemikiran menghafal karena iklim yang terjadi dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah.

Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur, dan sebagainya. Namun ketika waktu ujian berlangsung, anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tidak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan. Menurut Mukhayat (2004), belajar dengan menghafal tidak terlalu banyak menuntut aktivitas berpikir anak dan mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Anak akan cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Anak kehilangan sense of learning, kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya yang mengakibatkan anak tidak terbiasa untuk berpikir kritis.

Proses pembelajaran seperti inilah yang merupakan ciri pendidikan di negara berkembang, termasuk di Indonesia (Romberg, 1998; Armanto, 2001). Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diusahakan perbaikan pembelajaran siswa dengan mengubah paradigma mengajar menjadi paradigma belajar, yaitu pembelajaran yang lebih memfokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi, abstraksi, formalisasi, dan aplikasi.

Proses mengaktifkan siswa ini dapat dikembangkan dengan membiasakan anak menggunakan berpikir logis dalam setiap melakukan kegiatan belajarnya. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat, dan bagaimana bertindak sebagai perwujudan aplikasi pemahaman untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada guru diharapkan secara dini dapat melakukan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan berpikir logis.

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan berpikir logis dapat dirujuk beberapa pendapat, antara lain Plato yang mengatakan bahwa berpikir adalah berbicara dalam hati, atau Gieles dalam Mukhayat (2004) yang mengartikan bahwa berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain.

Kata logis sering digunakan seseorang ketika pendapat orang lain tidak sesuai dengan pengambilan keputusan (tidak masuk akal) dari suatu persoalan. Hal ini berarti bahwa dalam kata logis tersebut termuat suatu aturan tertentu yang harus dipenuhi. Menurut Mukhayat (2004), kata logis mengandung makna besar atau tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir dan kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum yang digunakan untuk dapat berpikir tepat.

Dalam matematika, kata logis erat kaitannya dengan penggunaan aturan logika. Poedjawijatna (1992) mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan logika. Logika berasal dari kata Yunani, yaitu Logos yang berarti ucapan, kata, dan pengertian. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan aturan-aturan atau patokan-patokan yang perlu diperhatikan untuk dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh kebenaran secara rasional.

Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas, sebab yang dipikirkan adalah realitas, yaitu hukum realitas yang selaras dengan aturan berpikir. Dari dasar realitas yang jelas dan dengan menggunakan hukum-hukum berpikir akhirnya akan dihasilkan putusan yang dilakukan. Menurut Albrecht (1992), agar seseorang sampai pada berpikir logis, dia harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian dan menunjukkan gagasan progresif, yaitu: (1) dasar pemikiran atau realitas tempat berpijak, (2) argumentasi atau cara menempatkan dasar pemikiran bersama, dan (3) simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada dasar pemikiran.

Dari uraian di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan proses menghafal dengan berpikir logis. Menghafal hanya mengacu pada pencapaian kemampuan ingatan belaka, sedangkan berpikir logis lebih mengacu pada pemahaman pengertian (dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisis, kemampuan sintesis, bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses).

Untuk dapat menghantar siswa pada kegiatan berpikir logis hendaknya kepada siswa dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencoba menjawab pertanyaan “mengapa”, “apa”, dan “bagaimana”. Sebagai contoh, kepada siswa kelas III SD diminta untuk menjawab pertanyaan berapa hasil kali 6x8. Bagi siswa yang telah terbiasa dengan menghafal tentu ia dapat menjawab langsung 48. Namun jika ditanya mengapa hasilnya 48, siswa akan kebingungan karena dibenaknya hanya tergambar ingatan angka 48. Bagi siswa yang terbiasa dengan berpikir logis, pertanyaan seperti di atas sudah sering ia dapatkan. Bahkan, ia akan mencoba memahami apa arti dari perkalian tersebut. Hal ini berarti bahwa siswa telah menangkap makna atau pengertian dari soal tersebut.

Sebagai konsekuensinya perlu diperhatikan pendekatan pembelajaran yang digunakan di kelas. Ruseffendi (2001) berpendapat bahwa untuk membudayakan berpikir logis serta bersikap kritis dan kreatif proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan matematika realistik. Selanjutnya dikatakan, jika kita (guru) rajin memperhatikan lingkungan dan mengaitkan pembelajaran matematika denganlingkungan maka besar kemungkinan berpikir logis siswa itu akan tumbuh.

2. 2 Sikap siswa terhadap matematika

Seperti telah diuraikan di atas, tujuan pendidikan matematika antara lain adalah penekanannya pada pembentukan sikap siswa. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1988).

Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak matematika.

Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa pendapat, antara lain Ruseffendi (1988), mengatakan bahwa anak-anak menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (1979), siswa yang hampir mendekati sekolah menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika yang secara perlahan menurun.
Siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain terlihat sungguh-sungguh dalam belajar matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas, dan selesai pada waktunya.

Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu diperhatikan agar penyampaian matematika dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Oleh karena itu, materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal. Hal ini sesuai dengan karakteristik pendekatan matematika realistik.

2.3 Pendekatan Matematika Realistik (PMR)

Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke pandangan belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa membawa konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak lagi sebagai sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya sendiri.

Untuk mendukung proses pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut dan sesuai dengan tujuan pendidikan matematika, diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada proses pembelajaran tidak hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (formatif atau sumatif) (Subandar, 2001). Ditinjau dari perubahan kurikulum yang saat ini sedang diberlakukan, yaitu Kurikulum 2004, pendekatan matematika realistik adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut.

Matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa (Soedjadi, 2004). Matematika Realistik pertama kali dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Negeri Belanda dan telah menempatkan negara tersebut pada posisi ke-7 dari 38 negara peserta TIMSS tahun 1999 (Mullis et al., 2000). Matematika realistik juga telah diadopsi oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brasilia, Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia (de Lange, 1996; Zulkardi, 2001). Salah satu hasil yang dicapai oleh negara-negara tersebut adalah prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional maupun internasional (Romberg, 1998).

Hasil studi di Puerto Rico menyebutkan bahwa prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi, 2004; Haji, 2005), suatu prestasi yang sangat fantastis untuk mata pelajaran matematika yang banyak dipandang siswa sebagai mata pelajaran yang sangat menakutkan dan membosankan.

Di Indonesia, beberapa hasil penelitian, antara lain yang dilakukan Fauzan (2002), menemukan bahwa hasil pembelajaran geometri siswa kelas IV dan V SD dengan pendekatan matematika realistik pada tes akhir lebih tinggi daripada pembelajaran secara tradisional. Demikian juga hasil penelitian Armanto (2002) yang menemukan bahwa hasil pembelajaran perkalian dan pembagian bilangan besar siswa kelas IV SD dengan pendekatan matematika realistik lebih baik dari pada pembelajaran secara tradisional.

Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi lebih positif dalam belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pendekatan matematika realistik dapat mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa terhadap matematika dari matematika yang menakutkan dan membosankan ke matematika yang menyenangkan sehingga keinginan untuk mempelajari matematika semakin besar.

Ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan dunia nyata atau real world (Gravemeijer, 1994). Menurut De Lange (1996) dan Suharta (2004), proses pengembangan konsep dan ide matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut Matematisasi Konsep dan memiliki model skematis proses belajar seperti gambar berikut:

Dunia Nyata

Matematisasi dalam Matematisasi dan
Aplikasi Refleksi


Abstraksi dan Formalisasi


Gambaran proses belajar di atas tidak mempunyai titik akhir. Hal ini menunjukkan bahwa proses lebih penting daripada hasil akhir, sedangkan titik awal proses belajar menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal siswa. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa setiap siswa memiliki konsep awal tentang ide-ide matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, ia dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi untuk secara aktif membangun pengetahuan baru.

Matematika tidak disajikan dalam bentuk hasil jadi (a ready-made product), tetapi siswa harus belajar menemukan kembali konsep-konsep matematika. Siswa membentuk sendiri konsep dan prosedur matematika melalui penyelesaian soal yang realistik dan kontekstual. Hal ini sesuai dengan pandangan teori constructivism yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa (Cobb dalam Armanto, 2001).

Soal kontekstual (context problem) dimaksudkan untuk menopang terlaksananya suatu proses penemuan kembali (reinvention) yang memberi peluang bagi siswa untuk secara formal memahami matematika (Gravemeijer,1994, Subandar, 2001). Oleh karena itu, matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari.

Menurut Gravemeijer (1994) dan Armanto (2002), terdapat tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu a) penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif (guided reinvention and progressive mathematization); b) fenomena pembelajaran (didactical phenomenology); dan c) model pengembangan mandiri (self-developed model). Prinsip penemuan terbimbing berarti bahwa siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku.
Bermatematika secara progresif dapat dibagi atas dua komponen, yaitu bermatematika secara horizontal dan vertikal (Treffers dan Goffree,1985). Yang dimaksud bermatematika secara horizontal adalah siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian sehingga menemukan kesamaan dan hubungan dengan model matematika yang telah diketahui siswa. Bermatematika secara vertikal adalah siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau tidak formal dengan menggunakan konsep, operasi, dan prosedur matematika yang berlaku.

Prinsip fenomena pembelajaran menekankan pada pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan konsep-konsep matematika kepada siswa. Menurut Treffers dan Goffree (Subandar, 2001), konteks memainkan peranan utama dalam semua aspek pendidikan, pembentukan konsep, pembentukan model, aplikasi, dan dalam mempraktekkan keterampilan-keterampilan tertentu. Dalam konteks perlu mempertimbangkan dua aspek, yaitu: (1) kesesuaian aplikasi konteks dalam pengajaran dan (2) kesesuaian dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut. Aktivitas pembelajaran berlangsung secara progresif dan kental dengan diskusi interaktif antara siswa-siswa dan siswa-guru serta lingkungan.

Prinsip pengembangan model mandiri (self-developed model) berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan matematika tidak formal dan matematika formal dari siswa. Siswa mengembangkan model tersebut dengan menggunakan model-model matematika (formal dan tidak formal) yang telah diketahuinya dengan menyelesaikan soal kontekstual dari situasi nyata (real) yang sudah dikenal siswa, kemudian ditemukan “model dari” (model of) dalam bentuk informal kemudian diikuti dengan menemukan model dalam bentuk formal sehingga akhirnya mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar.

Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa Pendekatan Matematika Realistik (PMR) secara garis besar memiliki lima karakteristik (De Lange, 1996; Treffers, 1991; Gravemeijer, 1994; Darhim, 2004), yaitu: (1) menggunakan masalah kontekstual sebagai peluang bagi aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana suatu konsep matematika yang diinginkan dapat muncul; (2) menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal dengan perhatian diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi daripada mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung; (3) menggunakan kontribusi siswa dengan kontribusi yang besar pada proses pembelajaran datang dari siswa sendiri di mana mereka dituntut dari cara-cara informal ke arah yang formal; (4) terjadinya interaktivitas dalam proses pembelajaran di mana negosiasi secara eksplisit, intervensi kooperasi, dan evaluasi sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses pembelajaran secara konstruktif dengan menggunakan strategi informal sebagai jantung untuk mencapai formal; dan (5) menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah, tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus diwujudkan dalam pemecahan masalah.

3. Simpulan dan Saran

Proses pembelajaran matematika di kelas sampai saat ini masih didominasi oleh paradigma mengajar yang memiliki ciri-ciri antara lain: guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima; pembelajaran berfokus (berorientasi) pada guru, bukan pada siswa; ketergantungan siswa pada guru cukup besar; independensi berpikir siswa kurang dikembangkan; pemahaman siswa cenderung pada pemahaman instrumental, bukan pada pemahaman relasional. Praktek pembelajaran di atas jelas tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif, kurang melatih daya nalar, dan tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu masalah. Akhirnya siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku, siswa menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam situasi lain. Akibatnya terjadilah pembelajaran mekanistik.

Pembelajaran bermakna yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika sering terabaikan. Akibatnya tidak sedikit siswa yang merasa takut terhadap matematika, merasa terbebani dengan soal-soal matematika, dan bahkan bila mungkin lebih baik menghindari matematika. Akibatnya, beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil belajar yang kurang memuaskan. Oleh karena itu perlu perubahan pembelajaran dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Upayakan proses pembelajaran yang menyenangkan. Tunjukkan bahwa matematika sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari sehingga matematika tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyeramkan. Penilaian harus dilakukan terhadap keseluruhan, baik proses maupun hasil dalam rangka untuk memperbaiki proses pembelajaran, bukan merupakan akhir dari proses pembelajaran.

Perubahan paradigma pembelajaran tersebut sesuai dengan paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa. Paham ini mendasari pendekatan matematika realistik.

Kajian teori yang telah dikemukakan di atas maupun hasil penelitian yang telah dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri menunjukkan bahwa pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.




DAFTAR RUJUKAN

Albrecht, K. 1992. Daya Pikir. Semarang: Dahar Prize.

Armanto, D. 2001. Aspek Perubahan Pendidikan Dasar Matematika melalui Pendidikan Matematika Realistik (PMR). (Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasah). Medan: tidak diterbitkan.

Armanto, D. 2002. Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian Primary Schools: A Prototype of Local Instructional Theory. Dissertation, University of Twente. Enschede: Print Partners Ipskamp.

Begle, E. G. 1979. Critical Variables in Mathematics Education. Washington D.C: The Mathematical Association of America and NCTM.

Cooper, B. dan Harries, T. 2002. Children’s Responses To Contrasting Realistic Mathematics Problems: Just How Realistic Are Children Ready To Be? The Netherlands: Educational Studies in Mathematics, Kluwer Academic Publishers.

Darhim. 2004. Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual Terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal Dalam Matematika. Disertasi, tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI.

De Lange, Jan. 1996. Assessment: No Change without Problems. The Netherlands: Freudenthal Institute.

Fauzan, A. 2002. Applying Realistic Mathematics Education in Teaching Geometry in Indonesian Primary Schools. Doctoral Dissertation, University of Twente, Enschede, The Netherlands.

Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press.

Haji, S. 2005. Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Matematika di Sekolah Dasar. Disertasi, tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI.

Marpaung, Y. 2001. Implementasi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia. (Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasah). Medan.

Mukhayat, T. 2004. Mengembangkan Metode Belajar yang Baik Pada Anak. Yogyakarta: FMIPA UGM.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.d., Garden, R.a., O’Connnor, K.M., Chrostowski, S.J., and Smith, T.a. (2000). TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: The International Study Center, Boston College, Lynch School of Education.

Poedjawijatna. 1992. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Puskur. (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar: Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Balitbang Depdiknas.

Romberg, T.A. 1998. Problematics Features of the School Mathematics Curiculum. In Bishop et al. (Eds.). International Handbook of Mathematics Education. Edited Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Ruseffendi, H.E.T. 1988. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, H.E.T. 2001. Evaluasi Pembudayaan Berpikir Logis Serta Bersikap Kritis dan Kreatif Melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah disampaikan Pada Lokakarya di Yogyakarta. Yogyakarta.

Saragih, S. 2000. Analisis Strategi Kognitif Siswa SLTP Negeri 35 Medan dalam Menyelesaikan Soal-soal Matematika. Jurnal Penelitian Kependidikan Tahun 10. NO. 2 Des 2000. Malang.

Soedjadi, R. 2004. PMRI dan KBK dalam Era Otonomi Pendidikan. Buletin PMRI. Edisi III, Jan 2004. Bandung: KPPMT ITB Bandung.

Subandar, J. 2001. Aspek Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Kumpulan Makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasyah. Medan.

Suharta, I.G.P. 2004. Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana? Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi 38. Depdiknas Jakarta.

Swoboda, E. 2004. How to prepare prospective teachers to teach mathematics: Some Remarks. eswoboda@univ.rzeszow.pl. Poland Rzeszow University.

Treffers, A. dan Goffree. 1985. Rational Analysis of Realistic Mathematics Education. The Wiskoba Program. In L.Streefland (ed.), Proceeding of the ninth International Conference for the Psychology of Mathematics Education. Volume 2. Utrecht: OW & OC.

Turmudi. 2004. Pengembangan Materi Ajar Matematika Realistik di Sekolah Dasar. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembelajaran Matematika Realistik Bagi Guru SD di Kota Bandung tgl. 7,13, dan 14 Agustus 2004 UPI Bandung. tidak diterbitkan.

Zulkardi. 2001. Realistics Mathematics Education (RME): Teori, Contoh Pembelajaran dan Teman Belajar di Internet. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional pada tgl. 4 April 2001 di UPI Bandung: Bandung: tidak diterbitkan.

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA

Pendahuluan

Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja. Artikel ini mencoba menguraikan paradigma baru tersebut. Secara garis besar akan diuraikan tentang beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika, seperti kontruktivis, kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL), dan secara khusus akan diuraikan tentang pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR).

Paradigma Baru Pendidikan

Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses belajar mengajar mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan GBPP atau apa yang telah tertulis di dalam buku paket.
Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.
Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).

Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).

Konstruktivis
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).
Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).
3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.
1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.
3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).

Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut (Johnson, 2002).
Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002).
Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002).
Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson, 2002).

Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).
Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.
Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru, siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, bukti empiris prospek penerapan PMR di Indonesia, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di tanah air.

Sejarah PMR
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri: cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek; guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner; materi bersifat subject-oriented; dan manajemen bersifat sentralistis (Zamroni, 2000). Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000).
Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):
1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);
2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan
4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999).
Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

Konsepsi tentang siswa
PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
• Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
• Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
• Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
• Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

Peran guru
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
• Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
• Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
• Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
• Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.

Konsepsi tentang pengajaran
Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):
• Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
• Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
• Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
• Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Bukti Empiris Prospek Penerapan PMR di Indonesia
Beberapa penelitian tentang PMR telah dilaksanakan di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan bukti empiris tentang prospek pengembangan dan implementasi PMR di tanah air. Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.
Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar di Surabaya menunjukkan bahwa materi PMR dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di SD. Dalam penelitian tersebut Fauzan (2002) menemukan bahwa para guru dan siswa-siswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat berbeda dengan buku yang dipakai sekarang baik dari segi isi maupun pendekatannya. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan metode ‘chalk dan talk’, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber.
Penelitian Fauzan (2002) juga menemukan bahwa pada awalnya terdapat berbagai masalah yang disebabkan oleh sikap negatif siswa dalam belajar matematika yang merupakan akibat pendekatan tradisional pengajaran matematika. Untuk mengatasi hal tersebut Fauzan (2002) menyarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut:
• Sedini mungkin menjelaskan kepada siswa tentang perubahan peran mereka dan guru mereka dalam proses belajar mengajar, dan hal itu berbeda dengan cara sebelumnya atau yang selama ini dipraktikkan di kelas.
• Guru perlu menjelaskan kepada para siswa tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, dan jenis jawaban yang diharapkan untuk menyelesaikan soal-soal kontekstual.
• Berkenaan dengan sikap negatif siswa-siswa dalam proses belajar mengajar matematika, hal-hal berikut dapat membantu mengubah sikap tersebut:
- Menciptakan pendahuluan yang menantang sebelum siswa mulai menyelesaikan soal-soal kontekstual sehingga siswa merasa gembira dan bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal tersebut.
- Menciptakan suasana demokratis di kelas sehingga siswa tidak merasa takut untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Suasana demokratik artinya siswa merasa bebas untuk aktif dalam proses belajar tanpa merasa takut membuat kesalahan jika mereka ingin bertanya atau menjawab pertanyaan.
- Menerapkan aturan-aturan dalam mengajukan pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan (misalnya mengangkat tangan, tidak boleh berteriak). Katakan kepada siswa bahwa ada konsekuensinya jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah disepakati (misalnya dalam menjawab soal harus disertai dengan alasan, kalau itu dilakukan siswa akan mendapat nilai lebih baik).
• Sebagian orangtua siswa membantu anaknya dalam pengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), oleh karena itu mereka perlu diberitahu tentang perubahan pendekatan pembelajaran matematika ini, yaitu dari pendekatan tradisional ke pendekatan realistik.
• Disadari bahwa para siswa dan guru perlu waktu untuk dapat mengadaptasikan pendekatan PMR ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga untuk dapat menerapkan PMR secara berhasil perlu pembiasaan melalui latihan di kelas.

Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang. Penelitian Armanto (2002) juga menunjukkan bahwa siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok. Kesempatan siswa untuk belajar dalam situasi yang berbeda-beda mendorong mereka merumuskan kembali proses belajar mereka. Selama proses belajar siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam belajar perkalian dan pembagian bilangan multi-angka.
Hasil yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh Hadi (2002). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil sampel siswa-siswa SLTP ditemukan hasil positif dalam penggunaan materi PMR dalam pembelajaran matematika, yaitu siswa menjadi lebih termoticvasi, aktif, dan kreatif dalam proses belajar mengajar disebabkan oleh materi yang menarik karena dilengkapi dengan gambar-gambar dan cerita. Siswa juga menunjukkan kemajuan dalam belajar matematika, yang ditujukkan dengan pemahaman konsep matematika yang mereka pelajari dan peningkatan skor yang mereka peroleh dari pretes ke postes, walupun dengan menggunakan tes konvensional. Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002).
Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:
• di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
• mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
• bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
• memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Referensi
Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary schools: a prototype of local instructional theory. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Blum, W. and Niss, M. (1989). Mathematical Problem Solving, Modelling, Applications, and Links to Other Subjects – State, Trends and Issues in Mathematics Instruction. In: W. Blum, M. Niss, and I. Huntley (Eds.), Modelling, Applications and Applied Problem Solving: teaching mathematics in a real contexts. Chichester: Ellis Horwoord.

De Lange, J. (1995). Assessment: No change without problem. In: T. Romberg (ed.) Reform in school mathematics and authentic assessment. Albany NY: State Univeristy of New York Press.

Fauzan, A. (2002). Applying realistic mathematics education in teaching geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.

Gravemeijer, K.P.E. (1997). Instructional design for reform in mathematics education. In: Beishuizen, Gravemeijer and Van Lieshout (Eds.) The Role of Contexts and Models in the Development of Mathematics Strategies and Procedures. Utrecht: CD- Press, the Netherlands.

Johnson, E.B. (2002). Contextual teaching and learning, what it is and why it’s here to stay. Thaousand Oaks: Corwin Press, Inc.

Hadi, S. (2002). Effective Teacher Professional Development for the Implementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan (1999). Kompas. [On-line]. Tersedia:

http://kompas.com/kompas%2Dcetak/berita%2Dterbaru/1634.html

Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Zulkardi. (2002). Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Kamis, 02 Juni 2011

Hukuman yang Edukatif

Para guru tentu pernah melakukan hukuman terhadap peserta didik yang pernah melakukan pelanggaran. Hal ini dilakukan agar peserta didik menyadari dan tak mengulang kesalahannya kembali. Namun, benarkah teknik ini mampu membuat mereka jera dan tak mengulangi lagi? Tak jarang media memberitakan guru yang terkena bumerang atas tindakan tersebut. Alih-alih memberi tindakan pembelajaran pada peserta didik, yang terjadi justru guru terjerat masalah hukum. Berikut prinsip-prinsip dalam memberikan hukuman:

1. Tak dilandasai emosi.

Hal ini bisa terjadi bila guru mendapati peserta didiknya tidak mematuhi instruksi, terlebih mereka melakukan perlawananan. Guru akan merasa disepelekan dan itu dapat memancing emosi. Beberapa permasalahan di kelas yang membuat guru emosi adalah: siswa berkata atau berlaku tak sopan, gaduh/ramai, mengantuk/menguap dengan keras saat pelajaran, membaca buku lain yang tak terkait pelajaran, tak mengerjakan tugas yang diberikan, atau sering membolos. Apapun pelanggaran siswa, jangan didasari emosi, balas dendam apalagi perasaan benci.
Apabila salah satu hal di atas terjadi, ada baiknya guru menyikapinya dengan kepala dingin. Guru harus menyadari peserta didik masih memiliki keterbatasan mengenai tata krama dan kesadaran mematuhi instruksi. Di sinilah peran dan tugas guru membuat peserta didik mengenal tata krama dan disiplin.

2. Menganalisis jenis kesalahan/pelanggaran siswa.

Guru hendaknya memiliki daya analisis tinggi. Artinya, bila ada peserta didik yang melanggar, guru hendaknya segera mencari akar penyebabnya. Bila kesalahan itu terjadi di saat pelajaran berlangsung, karena siswa mengantuk/menguap dengan keras, gaduh atau membaca buku selain pelajaran, asumsi yang muncul untuk menjelaskan permasalahan ini adalah strategi pembelajaran guru yang kurang menarik atau peserta didik merasa dirinya tak terlibat penuh pada mata diklat yang dipelajari.
Bila peserta didik berkata tidak sopan, hal pertama yang harus dilakukan guru adalah segera memberi tindakan berupa peringatan secara verbal. Lantas, guru mencari data mengenai peserta didik yang bersangkutan pada BK. Hal ini bisa dijadikan studi kasus bagi guru.

3. Hukuman yang tidak bernilai pendidikan.

Membuat peserta didik yang bermasalah menyadari kesalahannya memang bukan pekerjaan mudah. Bila peserta didik tak mengerjakan tugas, jangan langsung menyuruhnya push-up atau lari tanpa feed-back. Hukuman bisa dilakuan dengan menyuruh mereka mencari tugas tambahan di internet, koran, atau majalah yang berkaitan dengan pelajaran.

4. Hukuman tahap per tahap.

Sangat dimungkinkan bahwa hukuman verbal atau pengarahan secara khusus tak diindahkan peserta didik yang bandel. Dalam kasus seperti ini, prinsip nomor satu di atas harus menjadi prioritas. Hal yang mungkin dilakukan guru adalah memberi hukuman sesuai dengan beberapa tahapan. Pertama, guru melakukan peneguran secara tegas di hadapan peserta didik lainnya agar peserta didik yang bermasalah tak mengulangi lagi dan peserta didik lainnya menjauhkan diri dari perbuatan yang sama. Kedua, jika ia tidak mengindahkan, permasalahan seperti ini perlu penangananan pihak sekolah dan orangtua. Kebijakan ini adalah menghindarkan guru dari permasalahan. Sementara itu, guru dapat melaksanakan dan melanjutkan tugas mulianya.

TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

I. PENDAHULUAN

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya. Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.

Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.

Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu:
(1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;
(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.

Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian.

Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-perasaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasikan dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa.

Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi. Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).

Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.

Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.

II. KAJIAN TEORI

1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik

Menurut teori humanistik,proses belajar harus di mulai dan di tujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri.Oleh sebab itu,teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat,teori kepribadian,dan psikoterapi,dari pada bidang kajian psikologi belajar.Teori humanistik sangat mementingkan isi yang di pelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang di cita-citakan,serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain,teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya,seperti yang selama ini di kaji oleh teori-teori belajar lainnya.

Dalam pelaksanaannya,teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang di kemukakan oleh Ausubel.Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini,mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang di pelajari di asimilasikan dan di hubungkan dengan pengetahuan yang telah di miliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar,sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar,maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah di milikinya.Teori humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat di manfaaatkan,asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri,pemahaman diri ,serta realisasi diri orang yang belajar,secara optimal.

Pemahaman terhadap belajar yang di idealkan menjadikan teori humanistic dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia.Hal ini menjadikan teori humanistic bersifat sangat eklektik.Tidak dapat di sangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu ,akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu system dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistic akan memanfaatkan teori-teori apapun,asal tujuannya tercapai,yaitu memanusiakan manusia.

Manusia adalah makhluk yang kompleks.Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan semata,atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi.Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama di pandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori humanistic dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk di lakukan,tetapi justru harus di lakukan.

2. Tokoh-tokoh Humanistik

Banyak tokoh penganut aliran humanistic,di antaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya,Honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam siswa,Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya,serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya. Pandangan masing-masing tokoh terhadap belajar di deskripsikan sebagai berikut :

2.1. Pandangan Kolb Terhadap Belajar

Kolb seorang ahli penganut aliran humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi 4 yaitu : a) Tahap pengalaman konkret, b) Tahap pengamatan aktif dan reflektif, c) Tahap konseptualisasi , dan d) Tahap eksperimentasi aktif.

a. Tahap pengalaman konkret
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya.Ia dapat melihat dan merasakannya,dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang di alaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa terebut.Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya,dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi.Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu.Kemampuan inilah yang terjadi dan di miliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.

b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang di alaminya.Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut.Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang di alaminya,dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi,dan mengapa hal itu mesti terjadi.Pemahamannya terhadap peristiwa yang di alaminya semakin berkembang.Kemampuan inilah yang terjadi dan di miliki seseorang pada tahap kedua dalam proses belajar.

c. Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam proses belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi ,mengembangkan suatu teori ,konsep atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya.Berfikir induktif banyak di lakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang di alaminya.Walaupun kejadian-kejadian yang di amati tampak berbeda-beda,namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat di jadikan dasar aturan bersama.

d. Tahap eksperimentasi aktif
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak di gunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang di hadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian di lukiskan oleh kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoritis tahap-tahap belajar tersebut memang dapat di pisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi begitu saja sulit untuk di tentukan kapan terjadinya.

2.2. Pandangan Honey dan Mumford Terhadap Belajar
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Honey dan Mumford. Pandangannya tentang belajar di ilhami oleh pandangan Kolb mengenai tahap-tahap belajar di atas. Honey dan Mumford menggolong-golongkan orang yang belajar ke dalam 4 macam atau golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflector, kelompok teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing kelompok memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karakteristik yang di maksud adalah :

a. Kelompok Aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah di ajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak di dorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru,dan sebagainya, sehingga metode yany cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.

b. Kelompok Reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflector mempunyai kecendrungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik buruk dan untung rugi, selalu di perhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah di pengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.

c. Kelompok Teoris
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan yang sangat kritis , suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering di kembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.

d. Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat di laksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat di praktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat di praktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat di praktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

2.3. Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang di maksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan social, sebab antara keduanya tidak dapat di pisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu : 1) belajar teknis (technical learning), 2) belajar praktis (practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipator learning). Masing-masing tipe memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Belajar Teknis (technical learning)
Yang di maksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketrampilan apa yang di butuhkan dan perlu di pelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sains amat di pentingkan dalam belajar teknis.

b. Belajar Praktis (Practical learning)
Yang di maksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya, amat di perlukan. Sungguh pun demikian,mereka percaya bahwa pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat di pisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu,interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.

c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)
Lain halnya dengan belajar emansipatoris, belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka di butuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat di perlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi cultural inilah yang oleh Habermas di anggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi cultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.

2.4. Pandangan Bloom dan Krathwohl Terhadap Belajar

Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti di kuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang di kemukakannya di rangkum ke dalam tiga kawasan yang di kenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui Taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan di capai, dengan rumusan yang mudah di pahami. Berpijak pada Taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, Taksonomi Bloom ini telah banyak di kenal dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut :
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
1). Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2). Pemahaman (menginterpretasikan)
3). Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4). Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5). Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
6). Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.)
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1). Peniruan (menirukan gerak)
2). Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3). Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4). Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c. Domain Afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1). Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2). Merespon (aktif berpartisipasi)
3). Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
4). Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang di percayainya)
5).Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya).

2.5. Teori Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitasaktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).

Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut. Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa missinya telah berhasil.

Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.

2.6. Teori Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
a. suatu usaha yang positif untuk berkembang
b. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling asasi- sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh orang lain.












Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama disebutnya deficiency need (kebutuhan yang timbul karena kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya bergantung pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain dinamakan growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi / keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.

2.7. Teori Carl Rogers

Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).

Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.

b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.

c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.

d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar.
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.
Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole-person learning, belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.

e. Belajar dan Perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

3. Aplikasi Teori Belajar Humanistik Dalam Kegiatan Pembelajaran
Humanisme dalam Islam sebenarnya sudah terumuskan dalam konsep khalifatullah dalam Islam. Allah berfiman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 - 32:
30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya
kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana
Konsep pembelajaran khalifatullah dalam Islam yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 30 - 32; substansinya mengandung tiga hal secara jelas, yaitu: (1) manusia adalah pilihan Tuhan; (2) keberadaan manusia dengan segala kelebihannya dimaksudkan sebagai wakil Tuhan di atas bumi (khalifatullah fi al-ardl), dan (3) manusia adalah pribadi yang bebas yang menanggung segala risiko atas perbuatannya.
Terkait dengan konsep di atas, sistem pengajaran di lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam yang bermasalah, paling tidak ditandai oleh beberapa hal berikut: (1) pengajaran materi secara umum termasuk pengajaran agama belum mampu melahirkan creativity. Akar masalah di sini terletak pada satu kenyataan bahwa bahan pengajaran di kurikulum kita terlalu overload; (2) morality atau akhlak di sekolah umum masih menjadi masalah utama, dan (3) punishment atau hukuman dalam berbagai bentuk lebih tampak dari reward atau penghargaan.
Berikut banyak sekali hal-hal yang merupakan aplikasi dari teori-teori humanistik, walaupun hanya akan ditampilkan sebagian aplikasi dalam proses pembelajaran, dikarenakan keterbatasan ruang dan waktu.

1. Pendidikan Terbuka (Open Education)
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai pembimbing. Ciri utama dari proses ini adalah lingkungan fisik kelas yang berbeda dengan kelas tradisional, karena murid bekerja secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan adanya pusat-pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang memungkinkan murid mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran, topik-topik, ketrampilan ketrampilan atau minat-minat tertentu. Pusat ini dapat memberikan petunjuk untuk mempelajari suatu topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat partisipasi dan kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru (Rumini, 1993).
Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai berikut :

a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar, artinya berbagai macam bahan yang diperlukan untuk belajar harus ada. Murid tidak dilarang untuk bergerak secara bebas di ruang kelas, tidak dilarang bicara, tidak ada pengelompokan atas dasar tingkat kecerdasan.

b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka. Guru menangani masalah-masalah perilaku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan murid yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.

c. Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersamasama mendiagnosis peristiwa-peristiwa belajar, artinya murid memeriksa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

d. Pengajaran yang bersifat individual, sehingga tidak ada tes ataupun buku kerja

e. Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui murid dan membuat catatan dan penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes formal.

f. Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi guru, dalam arti guru boleh menggunakan bantuan orang lain termasuk rekan sekerjanya.

g. Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses belajar yang membuat murid nyaman dalam melakukan sesuatu.

Perlu untuk diketahui, bahwa penelitian tentang efektivitas model ini menunjukkan adanya perbedaan dengan proses pendidikan tradisional dalam hal kreativitas, dorongan berprestasi, kebebasan dan hasil-hasil yang bersifat afektif secara lebih baik. Akan tetapi dari segi pencapaian prestasi belajar akademik, pengajaran tradisional lebih berhasil dibandingkan poses pendidikan terbuka ini.

2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif

Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi murid. Dalam prakteknya, belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik :
a. Murid bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4 – 6 orang anggota), dan komposisi ini tetap selama beberapa minggu.
b. Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik dan melakukannya secara berkelompok.
c. Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.

Adapun teknik-teknik dalam belajar koperatif ini ada 4 (empat) macam, yakni :

a. Team-Game Turnamen
Dalam teknik ini murid-murid yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda disatukan dalam tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota. Setelah guru menyajikan bahan pelajaran, lalu tim mengerjakan lembaran-lembaran kerja, saling mengajukan pertanyaan, dan belajar bersama untuk persiapan menghadapi perlombaan atau turnamen yang diadakan sekali seminggu. Dalam turnamen penentuan anggota tim berdasarkan kemampuan pada minggu sebelumnya. Hasilnya, murid-murid yang berprestasi paling rendah pada setiap kelompok memiliki peluang yang sama untuk memperoleh poin bagi timnya sebagai murid yang berprestasi paling tinggi.
Adapun jalannya turnamen adalah para murid secara bergantian mengambil kartu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada kartu itu, yakni pertanyaan yang sesuai dengan materi yang telah dipelajari selama seminggu itu. Pada akhir turnamen, guru menyiapkan lembar berikut tentang tim-tim yang berhasil dan skor-skor tertinggi yang dicapai.
Meskipun keanggotaan tim tetap sama, tetapi tiga orang yang mewakili tim untuk bertanding dapat berubah-ubah atas dasar penampilan dan prestasi masing-masing anggota. Misalnya saat ini prestasi murid rendah dan ia bertanding dengan murid lain yang kemampuannya serupa, maka minggu berikutnya ia bisa saja bertanding melawan murid-murid yang berprestasi tinggi manakala ia menjadi lebih baik.

b. Student Teams-Achievement Divisions
Teknik ini menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota, akan tetapi kegiatan turnamen diganti dengan saling bertanya selama lima belas menit, dimana pertanyaanpertanyaan yang diajukan terlebih dulu disusun oleh tim. Skorskor pertanyaan diubah menjadi skor-skor tim, skor-skor yang tertinggi memperoleh poin lebih dari pada skor-skor yang lebih rendah, disamping itu juga ada skor perbaikan.

c. Jigsaw
Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen, kemudian tim diberi bahan pelajaran. Murid mempelajari bagian masing-masing bersama-sama dengan anggota tim lain yang mendapat bahan serupa. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan bagian yang telah dipelajarinya bersama dengan anggota tim lain tersebut, kepada teman-teman dalam timnya sendiri. Akhirnya semua anggota tim dites mengenai seluruh bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat ditentukan melalui dua cara, yakni skor untuk masing-masing murid dan skor yang digunakan untuk membuat skor tim.

d. Group Investigation
Disini para murid bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil untuk menanggapi berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub-sub topik yang dibebankan kepada setiap anggota kelompok untuk menelitinya dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Setelah itu setiap kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas.

Berdasarkan penelitian, teknik-teknik belajar kooperatif pada umumnya berefek positif terhadap prestasi akademik. Selain itu teknik ini juga meningkatkan perilaku kooperatif dan altruistik murid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik ini merupakan teknik mengajar yang efektif untuk mencapai tujuan instruksional kelas.

3. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)

Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid), mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang harus mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber apa saja yang akan digunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah dilaksanakan (Lowry, dalam Harsono, 2007).
Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di tingkat atau level sekolah menengah ataupun perguruan tinggi, karena menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses belajar, bukan sebagai penentu proses belajar. Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya dan bahkan diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang dipelajari peserta.
Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan (Harsono, 2007). Perancangan pembelajaran ini merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif untuk membantu peserta didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan membuat mereka lebih berkomitmen terhadap proses pembelajaran.

4. Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada Siswa)

Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system dukungan social untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling efektif dan diharapkan menjadi life-long learner dan memiliki jiwa entrepreneur.
Sama seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam system pendidikan di tingkat Sekolah Menengah (Harsono, 2007). Dengan SCL siswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenap potensinya (cipta, karsa dan rasa), mengeksplorasi bidang yang diminatinya, membangun pengetahuan dan mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri dan bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang bersifat kolaboratif, kooperatif dan kontekstual. Adapun metode-metode SCL antara lain :
a. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Prinsip metode ini adalah siswa belajar dari dan dengan teman-temannya untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan secara penuh bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai (Afiatin, 2007). Disini Guru membagi otoritas dengan para siswa. Secara detail prosedur yang dilakukan dalam metode ini adalah :
 Guru menjelaskan topik yang akan dipelajari
 Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 orang
 Guru membagi sub-sub topik kepada masing-masing kelompok, disertai dengan pertanyaan atau tugas-tugas yang berkaitan dengan masing-masing sub topik
 Guru meminta masing-masing kelompok mendiskusikan, menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas pada masing-masing sub topik
 Guru meminta masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi atau pekerjaannya dalam kelompok
 Guru memfasilitasi pembahasan topik secara menyeluruh dalam kelas

b. Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif)
Prinsip dari Pembelajaran Kolaboratif adalah bahwa pembelajaran merupakan proses yang aktif. Siswa mengasimilasi informasi dan menghubungkannya dengan pengetahuan baru melalui kerangka acuan pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang akan membuka wawasan para siswa untuk secara aktif berinteraksi dengan temannya. Di sini siswa akan mendapatkan keuntungan lebih jika mereka saling berbagi pandangan yang berbeda dengan temannya (Afiatin, 2007).
Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang memungkinkan terjadinya komunikasi dan saling bertukar informasi, yang akan memudahkan siswa menciptakan kerangka pemikiran dan pemaknaan terhadap hal yang dipelajari. Siswa ditantang baik secara sosial maupun emosional ketika menghadapi perbedaan perspektif dan memerlukan suatu kemampuan untuk dapat mempertahankan ide-idenya. Dengan demikian melalui proses ini siswa belajar menciptakan keunikan kerangka konseptual masing-masing dan secara aktif terlibat dalam proses membentuk pengetahuan.

Adapun prosedur pembelajaran kolaboratif adalah sebagai berikut:
 Guru menjelaskan topik yang akan dipelajari
 Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang
 Guru membagi lembar kasus yang terkait dengan topik yang dipelajari
 Siswa diminta membaca kasus dan mengerjakan tugas yang terkait dengan persepsi dan solusi terhadap kasus
 Siswa diminta mendiskusikan hasil pekerjaannya dalam kelompok kecil masing-masing dan mendiskusikan kesepakatan kelompok
 Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dalam kelas dan meminta kelompok lain untuk memberikan tanggapan.

c. Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif)

Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi siswa saling berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Kompetisi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Kompetisi individual berarti siswa berkompetisi dengan dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebelumnya. Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun kerjasama kelompok untuk dapat mencapai prestasi tertinggi (Afiatin, 2007).
Prosedur proses pembelajaran kompetitif adalah sebagai berikut
 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
 Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota 5 – 7 orang
 Guru menjelaskan prosedur tugas yang akan dikompetisikan dan standar penilaiannya
 Guru memfasilitasi kelompok untuk dapat mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya
 Masing-masing kelompok menunjukkan kinerjanya
 Guru memberikan penilaian terhadap kinerja kelompok berdasar standar kinerja yang telah disepakati

d. Case Based Learning (Pembelajaran Berdasar Kasus)
Prinsip dasar dari metode ini adalah memfasilitasi siswa untuk menguasai konsep dan menerapkannya dalam praktek nyata. Dalam hal ini analisis kasus yang dikuasai tidak hanya berdasarkan common sense melainkan dengan bekal materi yang telah dipelajari. Pada akhirnya metode ini memfasilitasi siswa untuk berkomunikasi dan berargumentasi terhadap analisis suatu kasus (Afiatin, 2007)
Prosedur yang dilakukan dalam metode ini adalah :
 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan metode yang akan digunakan
 Guru meminta siswa mempelajari konsep dasar yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, dengan cara membaca buku teks yang membahas materi tersebut.
 Guru membagikan lembar kasus yang telah dipersiapkan, dimana kasus ini haruslah relevan dengan tujuan dan materi pembelajaran
 Guru membagikan lembar pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa berkaitan dengan pembahasan kasus tersebut. Pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi panduan siswa untuk dapat menganalisis kasu berdasarkan konsep dasar yang telah dipelajari
 Guru meminta masing-masing siswa mempresentasikan hasil analisis kasusnya. Siswa dan Guru dapat memberikan tanggapan terhadap presentasi yang disajikan.

Pada intinya, pembelajaran dengan SCL sangat bertentangan dengan proses pembelajaran konvensional yang cenderung Teacher Centered Instruction, yakni proses pembelajaran yang mengandalkan guru atau guru sebagai sentralnya. Di sini nampak aplikasi dari aliran humanistik, yang sangat ‘memanusiakan’ peserta didik.

III. Penutup

Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu, humanistik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan ini.
Menurut teori humanistic tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistic cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan factor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.




DAFTAR RUJUKAN

Afiatin, T. 2007. Strategi Pembelajaran dengan Paradigma Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Budiningsih, A. 2008. Belajar dab Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harsono, 2007. Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Roberts, T. B., 1975. Four Psychologies Applied to Education : Freudian, Behavioral, Humanistic, Transpersonal. New York: Schenkman Pub. Co.
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Walgito, B. 2000. Peran Psikologi di Indonesia (Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM). Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.__