Kamis, 02 Juni 2011

TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

I. PENDAHULUAN

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya. Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.

Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.

Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu:
(1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;
(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.

Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian.

Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-perasaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasikan dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa.

Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi. Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).

Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.

Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.

II. KAJIAN TEORI

1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik

Menurut teori humanistik,proses belajar harus di mulai dan di tujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri.Oleh sebab itu,teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat,teori kepribadian,dan psikoterapi,dari pada bidang kajian psikologi belajar.Teori humanistik sangat mementingkan isi yang di pelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang di cita-citakan,serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain,teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya,seperti yang selama ini di kaji oleh teori-teori belajar lainnya.

Dalam pelaksanaannya,teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang di kemukakan oleh Ausubel.Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini,mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang di pelajari di asimilasikan dan di hubungkan dengan pengetahuan yang telah di miliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar,sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar,maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah di milikinya.Teori humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat di manfaaatkan,asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri,pemahaman diri ,serta realisasi diri orang yang belajar,secara optimal.

Pemahaman terhadap belajar yang di idealkan menjadikan teori humanistic dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia.Hal ini menjadikan teori humanistic bersifat sangat eklektik.Tidak dapat di sangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu ,akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu system dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistic akan memanfaatkan teori-teori apapun,asal tujuannya tercapai,yaitu memanusiakan manusia.

Manusia adalah makhluk yang kompleks.Banyak ahli di dalam menyusun teorinya hanya terpukau pada aspek tertentu yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu setiap ahli melakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan menganggap bahwa keterangannya tentang bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka akan terdapat berbagai teori tentang belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan antara pandangan yang satu dengan pandangan yang lain sering kali hanya timbul karena perbedaan sudut pandangan semata,atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi.Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu hanyalah keterangan mengenai hal yang satu dan sama di pandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikian teori humanistic dengan pandangannya yang eklektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk di lakukan,tetapi justru harus di lakukan.

2. Tokoh-tokoh Humanistik

Banyak tokoh penganut aliran humanistic,di antaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya,Honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam siswa,Hubermas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya,serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya. Pandangan masing-masing tokoh terhadap belajar di deskripsikan sebagai berikut :

2.1. Pandangan Kolb Terhadap Belajar

Kolb seorang ahli penganut aliran humanistic membagi tahap-tahap belajar menjadi 4 yaitu : a) Tahap pengalaman konkret, b) Tahap pengamatan aktif dan reflektif, c) Tahap konseptualisasi , dan d) Tahap eksperimentasi aktif.

a. Tahap pengalaman konkret
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya.Ia dapat melihat dan merasakannya,dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang di alaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa terebut.Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya,dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi.Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu.Kemampuan inilah yang terjadi dan di miliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.

b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang di alaminya.Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut.Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang di alaminya,dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi,dan mengapa hal itu mesti terjadi.Pemahamannya terhadap peristiwa yang di alaminya semakin berkembang.Kemampuan inilah yang terjadi dan di miliki seseorang pada tahap kedua dalam proses belajar.

c. Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam proses belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi ,mengembangkan suatu teori ,konsep atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya.Berfikir induktif banyak di lakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang di alaminya.Walaupun kejadian-kejadian yang di amati tampak berbeda-beda,namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat di jadikan dasar aturan bersama.

d. Tahap eksperimentasi aktif
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak di gunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang di hadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian di lukiskan oleh kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoritis tahap-tahap belajar tersebut memang dapat di pisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan dari satu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi begitu saja sulit untuk di tentukan kapan terjadinya.

2.2. Pandangan Honey dan Mumford Terhadap Belajar
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Honey dan Mumford. Pandangannya tentang belajar di ilhami oleh pandangan Kolb mengenai tahap-tahap belajar di atas. Honey dan Mumford menggolong-golongkan orang yang belajar ke dalam 4 macam atau golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflector, kelompok teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing kelompok memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karakteristik yang di maksud adalah :

a. Kelompok Aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah di ajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak di dorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru,dan sebagainya, sehingga metode yany cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.

b. Kelompok Reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflector mempunyai kecendrungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik buruk dan untung rugi, selalu di perhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah di pengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.

c. Kelompok Teoris
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan yang sangat kritis , suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering di kembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.

d. Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat-sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat di laksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat di praktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat di praktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat di praktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

2.3. Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Menurut Habermas, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang di maksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan social, sebab antara keduanya tidak dapat di pisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu : 1) belajar teknis (technical learning), 2) belajar praktis (practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipator learning). Masing-masing tipe memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Belajar Teknis (technical learning)
Yang di maksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketrampilan apa yang di butuhkan dan perlu di pelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sains amat di pentingkan dalam belajar teknis.

b. Belajar Praktis (Practical learning)
Yang di maksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya, amat di perlukan. Sungguh pun demikian,mereka percaya bahwa pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat di pisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu,interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.

c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)
Lain halnya dengan belajar emansipatoris, belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka di butuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat di perlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi cultural inilah yang oleh Habermas di anggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi cultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.

2.4. Pandangan Bloom dan Krathwohl Terhadap Belajar

Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti di kuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang di kemukakannya di rangkum ke dalam tiga kawasan yang di kenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui Taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan di capai, dengan rumusan yang mudah di pahami. Berpijak pada Taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, Taksonomi Bloom ini telah banyak di kenal dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut :
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
1). Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2). Pemahaman (menginterpretasikan)
3). Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4). Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5). Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
6). Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.)
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1). Peniruan (menirukan gerak)
2). Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3). Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4). Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c. Domain Afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1). Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2). Merespon (aktif berpartisipasi)
3). Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
4). Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang di percayainya)
5).Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya).

2.5. Teori Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitasaktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).

Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut. Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa missinya telah berhasil.

Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.

2.6. Teori Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
a. suatu usaha yang positif untuk berkembang
b. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling asasi- sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh orang lain.












Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama disebutnya deficiency need (kebutuhan yang timbul karena kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya bergantung pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain dinamakan growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi / keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.

2.7. Teori Carl Rogers

Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).

Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.

b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.

c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.

d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar.
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.
Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole-person learning, belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.

e. Belajar dan Perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

3. Aplikasi Teori Belajar Humanistik Dalam Kegiatan Pembelajaran
Humanisme dalam Islam sebenarnya sudah terumuskan dalam konsep khalifatullah dalam Islam. Allah berfiman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 - 32:
30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya
kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana
Konsep pembelajaran khalifatullah dalam Islam yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 30 - 32; substansinya mengandung tiga hal secara jelas, yaitu: (1) manusia adalah pilihan Tuhan; (2) keberadaan manusia dengan segala kelebihannya dimaksudkan sebagai wakil Tuhan di atas bumi (khalifatullah fi al-ardl), dan (3) manusia adalah pribadi yang bebas yang menanggung segala risiko atas perbuatannya.
Terkait dengan konsep di atas, sistem pengajaran di lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan Islam yang bermasalah, paling tidak ditandai oleh beberapa hal berikut: (1) pengajaran materi secara umum termasuk pengajaran agama belum mampu melahirkan creativity. Akar masalah di sini terletak pada satu kenyataan bahwa bahan pengajaran di kurikulum kita terlalu overload; (2) morality atau akhlak di sekolah umum masih menjadi masalah utama, dan (3) punishment atau hukuman dalam berbagai bentuk lebih tampak dari reward atau penghargaan.
Berikut banyak sekali hal-hal yang merupakan aplikasi dari teori-teori humanistik, walaupun hanya akan ditampilkan sebagian aplikasi dalam proses pembelajaran, dikarenakan keterbatasan ruang dan waktu.

1. Pendidikan Terbuka (Open Education)
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai pembimbing. Ciri utama dari proses ini adalah lingkungan fisik kelas yang berbeda dengan kelas tradisional, karena murid bekerja secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan adanya pusat-pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang memungkinkan murid mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran, topik-topik, ketrampilan ketrampilan atau minat-minat tertentu. Pusat ini dapat memberikan petunjuk untuk mempelajari suatu topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat partisipasi dan kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru (Rumini, 1993).
Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai berikut :

a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar, artinya berbagai macam bahan yang diperlukan untuk belajar harus ada. Murid tidak dilarang untuk bergerak secara bebas di ruang kelas, tidak dilarang bicara, tidak ada pengelompokan atas dasar tingkat kecerdasan.

b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka. Guru menangani masalah-masalah perilaku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan murid yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.

c. Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersamasama mendiagnosis peristiwa-peristiwa belajar, artinya murid memeriksa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

d. Pengajaran yang bersifat individual, sehingga tidak ada tes ataupun buku kerja

e. Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui murid dan membuat catatan dan penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes formal.

f. Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi guru, dalam arti guru boleh menggunakan bantuan orang lain termasuk rekan sekerjanya.

g. Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses belajar yang membuat murid nyaman dalam melakukan sesuatu.

Perlu untuk diketahui, bahwa penelitian tentang efektivitas model ini menunjukkan adanya perbedaan dengan proses pendidikan tradisional dalam hal kreativitas, dorongan berprestasi, kebebasan dan hasil-hasil yang bersifat afektif secara lebih baik. Akan tetapi dari segi pencapaian prestasi belajar akademik, pengajaran tradisional lebih berhasil dibandingkan poses pendidikan terbuka ini.

2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif

Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi murid. Dalam prakteknya, belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik :
a. Murid bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4 – 6 orang anggota), dan komposisi ini tetap selama beberapa minggu.
b. Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik dan melakukannya secara berkelompok.
c. Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.

Adapun teknik-teknik dalam belajar koperatif ini ada 4 (empat) macam, yakni :

a. Team-Game Turnamen
Dalam teknik ini murid-murid yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda disatukan dalam tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota. Setelah guru menyajikan bahan pelajaran, lalu tim mengerjakan lembaran-lembaran kerja, saling mengajukan pertanyaan, dan belajar bersama untuk persiapan menghadapi perlombaan atau turnamen yang diadakan sekali seminggu. Dalam turnamen penentuan anggota tim berdasarkan kemampuan pada minggu sebelumnya. Hasilnya, murid-murid yang berprestasi paling rendah pada setiap kelompok memiliki peluang yang sama untuk memperoleh poin bagi timnya sebagai murid yang berprestasi paling tinggi.
Adapun jalannya turnamen adalah para murid secara bergantian mengambil kartu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada kartu itu, yakni pertanyaan yang sesuai dengan materi yang telah dipelajari selama seminggu itu. Pada akhir turnamen, guru menyiapkan lembar berikut tentang tim-tim yang berhasil dan skor-skor tertinggi yang dicapai.
Meskipun keanggotaan tim tetap sama, tetapi tiga orang yang mewakili tim untuk bertanding dapat berubah-ubah atas dasar penampilan dan prestasi masing-masing anggota. Misalnya saat ini prestasi murid rendah dan ia bertanding dengan murid lain yang kemampuannya serupa, maka minggu berikutnya ia bisa saja bertanding melawan murid-murid yang berprestasi tinggi manakala ia menjadi lebih baik.

b. Student Teams-Achievement Divisions
Teknik ini menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota, akan tetapi kegiatan turnamen diganti dengan saling bertanya selama lima belas menit, dimana pertanyaanpertanyaan yang diajukan terlebih dulu disusun oleh tim. Skorskor pertanyaan diubah menjadi skor-skor tim, skor-skor yang tertinggi memperoleh poin lebih dari pada skor-skor yang lebih rendah, disamping itu juga ada skor perbaikan.

c. Jigsaw
Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen, kemudian tim diberi bahan pelajaran. Murid mempelajari bagian masing-masing bersama-sama dengan anggota tim lain yang mendapat bahan serupa. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan bagian yang telah dipelajarinya bersama dengan anggota tim lain tersebut, kepada teman-teman dalam timnya sendiri. Akhirnya semua anggota tim dites mengenai seluruh bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat ditentukan melalui dua cara, yakni skor untuk masing-masing murid dan skor yang digunakan untuk membuat skor tim.

d. Group Investigation
Disini para murid bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil untuk menanggapi berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub-sub topik yang dibebankan kepada setiap anggota kelompok untuk menelitinya dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Setelah itu setiap kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas.

Berdasarkan penelitian, teknik-teknik belajar kooperatif pada umumnya berefek positif terhadap prestasi akademik. Selain itu teknik ini juga meningkatkan perilaku kooperatif dan altruistik murid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik ini merupakan teknik mengajar yang efektif untuk mencapai tujuan instruksional kelas.

3. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)

Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid), mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang harus mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber apa saja yang akan digunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah dilaksanakan (Lowry, dalam Harsono, 2007).
Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di tingkat atau level sekolah menengah ataupun perguruan tinggi, karena menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses belajar, bukan sebagai penentu proses belajar. Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya dan bahkan diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang dipelajari peserta.
Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan (Harsono, 2007). Perancangan pembelajaran ini merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif untuk membantu peserta didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan membuat mereka lebih berkomitmen terhadap proses pembelajaran.

4. Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada Siswa)

Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system dukungan social untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling efektif dan diharapkan menjadi life-long learner dan memiliki jiwa entrepreneur.
Sama seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam system pendidikan di tingkat Sekolah Menengah (Harsono, 2007). Dengan SCL siswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenap potensinya (cipta, karsa dan rasa), mengeksplorasi bidang yang diminatinya, membangun pengetahuan dan mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri dan bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang bersifat kolaboratif, kooperatif dan kontekstual. Adapun metode-metode SCL antara lain :
a. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Prinsip metode ini adalah siswa belajar dari dan dengan teman-temannya untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan secara penuh bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai (Afiatin, 2007). Disini Guru membagi otoritas dengan para siswa. Secara detail prosedur yang dilakukan dalam metode ini adalah :
 Guru menjelaskan topik yang akan dipelajari
 Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 orang
 Guru membagi sub-sub topik kepada masing-masing kelompok, disertai dengan pertanyaan atau tugas-tugas yang berkaitan dengan masing-masing sub topik
 Guru meminta masing-masing kelompok mendiskusikan, menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas pada masing-masing sub topik
 Guru meminta masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi atau pekerjaannya dalam kelompok
 Guru memfasilitasi pembahasan topik secara menyeluruh dalam kelas

b. Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif)
Prinsip dari Pembelajaran Kolaboratif adalah bahwa pembelajaran merupakan proses yang aktif. Siswa mengasimilasi informasi dan menghubungkannya dengan pengetahuan baru melalui kerangka acuan pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang akan membuka wawasan para siswa untuk secara aktif berinteraksi dengan temannya. Di sini siswa akan mendapatkan keuntungan lebih jika mereka saling berbagi pandangan yang berbeda dengan temannya (Afiatin, 2007).
Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang memungkinkan terjadinya komunikasi dan saling bertukar informasi, yang akan memudahkan siswa menciptakan kerangka pemikiran dan pemaknaan terhadap hal yang dipelajari. Siswa ditantang baik secara sosial maupun emosional ketika menghadapi perbedaan perspektif dan memerlukan suatu kemampuan untuk dapat mempertahankan ide-idenya. Dengan demikian melalui proses ini siswa belajar menciptakan keunikan kerangka konseptual masing-masing dan secara aktif terlibat dalam proses membentuk pengetahuan.

Adapun prosedur pembelajaran kolaboratif adalah sebagai berikut:
 Guru menjelaskan topik yang akan dipelajari
 Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang
 Guru membagi lembar kasus yang terkait dengan topik yang dipelajari
 Siswa diminta membaca kasus dan mengerjakan tugas yang terkait dengan persepsi dan solusi terhadap kasus
 Siswa diminta mendiskusikan hasil pekerjaannya dalam kelompok kecil masing-masing dan mendiskusikan kesepakatan kelompok
 Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dalam kelas dan meminta kelompok lain untuk memberikan tanggapan.

c. Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif)

Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi siswa saling berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Kompetisi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Kompetisi individual berarti siswa berkompetisi dengan dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebelumnya. Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun kerjasama kelompok untuk dapat mencapai prestasi tertinggi (Afiatin, 2007).
Prosedur proses pembelajaran kompetitif adalah sebagai berikut
 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
 Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota 5 – 7 orang
 Guru menjelaskan prosedur tugas yang akan dikompetisikan dan standar penilaiannya
 Guru memfasilitasi kelompok untuk dapat mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya
 Masing-masing kelompok menunjukkan kinerjanya
 Guru memberikan penilaian terhadap kinerja kelompok berdasar standar kinerja yang telah disepakati

d. Case Based Learning (Pembelajaran Berdasar Kasus)
Prinsip dasar dari metode ini adalah memfasilitasi siswa untuk menguasai konsep dan menerapkannya dalam praktek nyata. Dalam hal ini analisis kasus yang dikuasai tidak hanya berdasarkan common sense melainkan dengan bekal materi yang telah dipelajari. Pada akhirnya metode ini memfasilitasi siswa untuk berkomunikasi dan berargumentasi terhadap analisis suatu kasus (Afiatin, 2007)
Prosedur yang dilakukan dalam metode ini adalah :
 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan metode yang akan digunakan
 Guru meminta siswa mempelajari konsep dasar yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, dengan cara membaca buku teks yang membahas materi tersebut.
 Guru membagikan lembar kasus yang telah dipersiapkan, dimana kasus ini haruslah relevan dengan tujuan dan materi pembelajaran
 Guru membagikan lembar pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa berkaitan dengan pembahasan kasus tersebut. Pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi panduan siswa untuk dapat menganalisis kasu berdasarkan konsep dasar yang telah dipelajari
 Guru meminta masing-masing siswa mempresentasikan hasil analisis kasusnya. Siswa dan Guru dapat memberikan tanggapan terhadap presentasi yang disajikan.

Pada intinya, pembelajaran dengan SCL sangat bertentangan dengan proses pembelajaran konvensional yang cenderung Teacher Centered Instruction, yakni proses pembelajaran yang mengandalkan guru atau guru sebagai sentralnya. Di sini nampak aplikasi dari aliran humanistik, yang sangat ‘memanusiakan’ peserta didik.

III. Penutup

Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu, humanistik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan ini.
Menurut teori humanistic tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistic cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan factor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.




DAFTAR RUJUKAN

Afiatin, T. 2007. Strategi Pembelajaran dengan Paradigma Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Budiningsih, A. 2008. Belajar dab Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harsono, 2007. Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).
Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Roberts, T. B., 1975. Four Psychologies Applied to Education : Freudian, Behavioral, Humanistic, Transpersonal. New York: Schenkman Pub. Co.
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Walgito, B. 2000. Peran Psikologi di Indonesia (Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM). Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.__

Tidak ada komentar:

Posting Komentar